Kementerian Agama yang membawahi Kantor Urusan Agama (KUA) selaku penyelenggara atau pencatat pernikahan memiliki peran penting dalam menekan angka perkawinan dini.
Sejak tahun 2019 lalu, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menyebutkan bahwa saat ini batas minimal usia perkawinan adalah 19 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
“Perkawinan resmi dilaksanakan dengan melewati proses KUA maupun diluar KUA itu harus memenuhi syarat usia minimal. Jadi, usia perempuan yang dinaikkan 3 tahun menjadi 19 tahun (sebelumnya 16 tahun) diundangkan pada tanggal 15 Oktober tahun 2019,” kata Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Kalimantan Selatan, Noor Fahmi, Banjarmasin, Jumat (11/9/2020).
Berdasarkan survei Bappenas di tahun 2019, Kalsel menduduki peringkat pertama perkawinan usia dini. Faktor keyakinan, diakui Noor Fahmi merupakan salah satu sebab tingginya angka tersebut, selain faktor ekonomi dan pendidikan yang juga dominan.
“Melekatnya persepsi atau stigma masyarakat bahwa jika ada yang melamar perlu disegerakan menikah,” kata Fahmi.
Oleh karena itu, Kemenag Kalsel berupaya untuk mengkampanyekan dan menyosialisasikan serta memberikan edukasi tentang bahaya atau dampak perkawinan dini ke masyarakat.
“Kami telah menyosialisasikan tentang pendewasaan usia perkawinan dengan materi bahaya dan risiko perkawinan dini,” ucap Fahmi.
Fahmi pun berharap masyarakat dapat memahami hal tersebut, sehingga angka perkawinan dini di Kalsel bisa ditekan dan anak-anak dapat mengoptimalkan usia produktif untuk pengembangan diri, termasuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin.
“Kebanyakan orang nikah usia dini itu batas umur yang belum sampai menurut UU, sehingga menyebabkan tingginya angka perceraian,” ujar Fahmi. MC Kalsel/scw