Tindak pidana terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Dikatakan demikian karena merupakan kejahatan atas pelanggaran kemanusiaan yang dampaknya begitu luas di masyarakat, seperti menyebabkan ketakutan, ancaman, ketidaknyamanan, ketidaktentraman, penderitaan fisik, psikis, bahkan kematian. Perkembangan jaringan terorisme saat ini menjadikan perempuan dan anak sebagai sasaran untuk dilibatkan dalam sejumlah aksi terorisme.
Oleh karena itu perempuan terutama anak-anak menjadi kelompok rentan yang mudah dipengaruhi oleh lingkungan dan dianggap mudah untuk ditanamkan paham radikalisme. Modus terorisme yang terus berkembang di Indonesia mengharuskan pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat terlibat aktif dalam upaya pencegahan anak terlibat dalam jaringan terorisme.
Hal tersebut di utarakan oleh Asisten Deputi Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi Kemen PPPA, Hasan pada acara Sosialisasi kebijakan perlindungan anak dari radikalisme, dan tindak pidana terorisme bagi toga, toma, pendidik/akademisiz ormas dan media massa di Provinsi Kalsel di Hotel Ratan Inn Banjarmasin Kamis (11/7/2019).
Menurut, Hasan, anak banyak terlibat dalam tindak pidana terorisme karena dibujuk, dirayu, didoktrin, dan diajarkan untuk melakukan tindakan radikal serta terorisme oleh orang terdekat, seperti tetangga, guru, teman bermain, bahkan mirisnya oleh oknum orangtua.
“Dua faktor penyebab munculnya paham radikalisme dan tindak pidana terorisme, yaitu faktor internal, seperti minimnya pemahaman anak tentang agama, wawasan kebangsaan, jenis kelamin, umur, intelegensi, dan kematangan emosi anak. Sedangkan untuk faktor eksternal berupa keluarga, lingkungan, media, kemiskinan, pendidikan,” ujarnya
lanjut ia menjelaskan berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada sebanyak 500 orang tua yang berada dalam lembaga permasyarakatan karena terlibat tindak pidana terorisme.
“Sebanyak 1.800 anak dari pelaku terorisme tersebut mengalami stigmatisasi dan pelabelan, berupa pengucilan, diskriminasi, dilarang bergaul, bahkan ada yang dikeluarkan dari sekolah. Umumnya mereka mengalami trauma sehingga perlu mendapat pembinaan, pendampingan dan pemulihan,” tambah Hasan
Ia mengharapkan, dengan adanya kebijakan tentang Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Terorisme ini, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Kalsel bisa mengoordinasikan dengan baik bersama organisasi perangkat daerah (OPD) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Sementara itu Kepala Seksi Pelindungan Anak dan Hukum DP3A Provinsi Kalsel, Naimah Fitriyanuarti mengatakan tujuan kegiatan ini untuk meningkatkan pemahaman mengenai pencegahan dan penanganan anak korban stigmatisasi dan anak korban jaringan terorisme.
“Penyamaan persepsi mengenai pencegahan dan penanganan anak korban stigmatisasi dan anak korban jaringan terorisme,” katanya
Kegiatan ini diikuti 100 orang terdiri atas FKPT, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, pendidikan/akademisi, organisasi masyarakat, forum anak, osis SMA, PKK, aktifis masyarakat, PATBM dan media massa yang berasal dari kota Banjarmasin. MC Kalsel/tgh