Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) UU No. 18 Tahun 2008 telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi, dalam kenyataannya, perjalanan implementasi dari UU ITE mengalami persoalan-persoalan.
Bahrom Maji selaku Kepala Bidang E-Government di Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Kalimantan Selatan menyampaikan, bahwa “Kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik”.
“Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hak dan kebebasan melalui penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”, ujarnya.
Salah satu hasil revisi adalah menyatakan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dapat melakukan pemblokiran terhadap situs-situs tertentu, menurutnya.
Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU ITE menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Lebih jauh beliau menghimbau agar para peserta IWAPI yang berhadir agar lebih berhati-hati dengan memberikan beberapa tips menggunakan media sosial agar terhindar dari risiko hukum; Pahami regulasi yang ada, tegakan etika ber-media sosial, cek terlebih dahulu kebenaran informasi yang akan dibagikan (share) ke public, lebih berhati-hati bila ingin memposting hal-hal atau data yang bersifat pribadi, dan belajar dari penyedia jasa, seperti google untuk menjalani peran menjadi intermediary liability.
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 Juta rupiah”. (scw)