Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kalimantan Selatan (Kalsel) berupaya meningkatkan peran pemerintah dan masyarakat dalam mencegah anak menjadi korban eksploitasi ekonomi.
“Saat ini, anak-anak mengisi sepertiga dari populasi Indonesia. Lebih dari itu, pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kita semua,” ujar Kepala DPPPA Kalsel, Husnul Hatimah, pada Sosialisasi Perlindungan Anak dari Eksploitasi Ekonomi (Pekerja Anak), Banjarbaru, Jumat (26/11/2021).
Isu pekerja anak, lanjut Husnul, merupakan isu serius yang mengancam terpenuhinya hak anak. Pekerja anak berisiko putus sekolah, terlantar, dan berpotensi masuk dalam situasi yang membahayakan diri, sehingga mengancam tumbuh kembang yang maksimal.
“Terkait masalah pekerja anak ini, baik target SDGs demikian juga dengan upaya-upaya dalam menghapuskan pekerja anak yang sudah dilakukan di Indonesia, dari dua dekade yang diperkuat melalui berbagai Undang-Undang,” ujar Husnul.
Husnul menekankan, pekerja anak tidak sama dengan anak yang bekerja. Anak yang bekerja merupakan anak yang melakukan pekerjaan dalam jangka waktu pendek, diluar waktu sekolah dan tanpa unsur eksploitasi. Misalnya, untuk membantu orang tua, melatih tanggung jawab, disiplin ataupun keterampilan
“Berdasarkan data Sakernas bulan Agustus 2020, ditemukan bahwa sekitar 9 dari 100 atau 9,34 persen atau sekitar 3,36 juta anak usia 10 sampai 17 tahun yang bekerja. Di antara 3,36 juta anak yang bekerja tersebut, terdapat 1,17 juta pekerja anak,” kata Husnul
Jika membandingkan data Sakernas 2020 dan 2019, Husnul mengatakan persentase pekerja anak di Indonesia meningkat dalam kurun waktu dua tahun terakhir, yang terjadi pada kelompok umur 10 sampai 12 tahun dan 13 sampai 14 tahun.
Oleh karena itu, DPPPA Kalsel melalui UPTD PPA siap menjadi mitra masyarakat untuk memberikan layanan pengaduan, penjangkauan, dan pendampingan yang diperlukan.
“Dari berbagai fakta tersebut, kita harus bersiap untuk menghadapi berbagai kemungkinan terburuk karena pandemi belum berakhir. Krisis ekonomi, berkurangnya pekerja dewasa pada sektor-sektor tertentu karena angka kematian yang tinggi, serta ketimpangan sosial dalam akses teknologi informasi untuk pembelajaran jarak jauh dapat meningkatkan risiko lahirnya banyak pekerja anak baru di tengah pandemi,” kata Husnul. MC Kalsel/scw