Banjarbaru,
Air memang menjadi kepentingan orang banyak, membahas mengenai permasalahan air memang tidak akan ada habisnya, baik permasalah secara kualitas maupun kuantitasnya. Sebenarnya total ketersediaan air di Indonesia sebesar 690 milyar m3 / tahun jika dihitung – hitung masih mencukupi kebutuhan nasionalnya sebesar 175 milyar m3 / tahun. 70 persen cadangan air berada di kawasan Kalimantan dan Papua.
Sedangkan di kawasan urban seperti Jawa dan sebagian Sumatra justru mengalami defisit air. Alhasil, kebutuhan air ini kemudian dipenuhi dengan pengambilan air tanah yang semakin hari semakin membabi buta. Ambil contoh di Jakarta, akibat pengambilan air tanah dalam jumlah yang masif, bisa mengakibatkan penurunan muka tanah 5 – 12 cm / tahun. Selain karena beban bangunan, penyebab utama adalah karena adanya pengambilan air tanah secara berlebihan.
Hilangnya air di sela-sela tanah pada lapisan akuifer ( lapisan yang dapat menampung dan dilalui oleh air) akan menghasilkan ruang kosong. Akibat beban tanah itu sendiri ditambah lagi bangunan yang berdiri di atasnya, ruang kosong akan terisi oleh material di atasnya, dengan kata lain tanah mengalami pemadatan. Dalam skala yang besar, peristiwa ini mengakibatkan adanya penurunan tanah / subsidens. Permasalahan ini bukan tidak mungkin terjadi di wilayah Kalimantan Selatan, untuk mengantisipasinya Pemprov Kalsel sudah membuat Perda tentang pengendalian air tanah, Perda No 5 Tahun 2018 yang memuat tentang peraturan pengusahaan air tanah, baik oleh perorangan maupun badan usaha dengan mengedepankan penggunaan untuk kebutuhan sehari-hari dan pengairan/irigasi.
Apalagi di Kalsel sudah banyak industri yang memanfaatkan air tanah, seperti Industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), pemanfaatan air tanah dipastikan akan mengakibatkan degradasi / penurunan muka air tanah, bahkan sudah ada penelitian dari Badan Geologi Kementrian ESDM mengatakan sudah ada zona yang mengalami kerusakan air tanah / zona merah di Kalsel.
Contoh zona merah di Kalsel seperti beberapa titik di kawasan Kecamatan Bati-Bati Tanah Laut, daerah ini termasuk daerah yang air tanahnya minim dan perlu pemulihan.Kepala Bidang Air Tanah pada Dinas ESDM Kalsel, Ali Mustofa mengatakan untuk untuk mengatasi zona merah, Pemprov Kalsel dalam hal ini Dinas ESDM memberlakukan kebijakan pengendalian air tanah,”dengan cara tidak diperbolehkan lagi melakukan pengambilan air tanah lewat sumur bor pada kedalaman 0-150 Meter, selebihnya baru diperbolehkan,” katanya. Bagi perusaahan yang berada di zona merah yang meiliki sumur bor dengan kedalaman kurang dari 150 meter, tambah ali diwajibkan untuk membuat sumur bor baru dengan kedalaman lebih dari 150 meter.
Sumur-sumur yang lama yang kurang dari 200 meter itu diubah fungsi menjadi sumur resapan,”sebagai upaya pemulihan, agar berangsur pulih secara alami. Diharapkan status zona merah menjadi zona aman,” tambahnya.Selaian kebijakan pengendalian, di zona merah juga dilakukan kebijakan pembatasan pengambilan air tanah,” kita kurangi kuota pengambilan air tanahnya dan setiap perusahaan wajib membuat sumur resapan,” sambung Ali. Di Kalsel sendiri sudah ada 7 sumur bor yang ditutup oleh Dinas ESDM Kalsel karena tidak memilki izin.
”Bisa saja jumlah ini bertambah bila ditemukan ada sumur yang rusak atau tidak memiliki izin,” katanya. Lalu muncul pertanyaan, bukankah air begitu melimpah di Kalsel ini, kenapa harus dibuatkan perda tentang pengendaliannya ? Ali menjawab, sesuai undang-undang dasar 1945 pasal 33 menyebutkan bumi, air beserta isinya dikuasai pemerintah untuk kemakmuran rakyat, ”artinya air tanah sangat penting untuk dikelola dengan baik, kita masih bisakan mengganti air dengan material yang lain,” katanya. air disini kata Ali, adalah air yang bisa digunakan untuk kebutuhan manusia, ”air lautkan juga tidak bisa digunakan walaupun melimpah, masa kita memasak dengan air laut, kan tidak bisa,” ucap Ali.
Air bersih, ucap Ali, memiliki nilai strategis lantaran menjadi sumber kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari dengan tingkat ketergantungan pasokan air baku dari air tanah yang begitu tinggi. Selama periode 2013 sampai 2018 di Kalsel sudah terbangun 50 unit sumur bor di sejumlah kabupaten/kota. Pembangunan sumur bor eksplorasi tersebut, melalui dana APBD Provinsi Kalimantan Selatan. Usulan pembangunan sumur bor eksplorasi merupakan permintaan masyarakat (pengelola yang berbadan hukum) sesuai dengan peraturan pemberian hibah. Pembangunan sumur bor tersebut bertujuan untuk masyarakat yang membutuhkan air bersih. Walupun di atur dalam Perda, sumur bor yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari tidak perlu izin dan tidak dipungut biaya, ”kecuali untuk dibuat usaha,” pungkas Ali. MC Kalsel/rmd