Guna memberikan kepastian bagi masyarakat dan pemberi layanan pemeriksaan tes cepat (RDT), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan surat edaran tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi yang ditetapkan pada 6 Juli kemarin.
Hal itu dilakukan karena melihat adanya variasi harga, sehingga diperlukan peran serta pemerintah agar masyarakat tidak merasa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan.
Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan, Akhmad Yani, menyambut baik aturan tersebut karena dianggap mampu meringankan beban masyarakat.
“Dalam surat tersebut, disebutkan bahwa batas tarif tertinggi untuk pemeriksaan rapid test adalah Rp150 Ribu. Besaran tarif tertinggi tersebut berlaku untuk masyarakat yang melakukan pemeriksaan rapid test antibodi atas permintaan sendiri,” ujar Yani, Banjarmasin, Rabu (8/7/2020).
Di kesempatan tersebut, Yani pun menjelaskan mengapa harga pemeriksaan rapid test yang selama ini dilakukan berada diatas angka yang saat ini ditetapkan.
“Karena memang harga rapid test lebih dari Rp200 Ribu, belum lagi biaya peralatan alat pembersih, jarum, terus ditambah jasa pelayanan. Jadi, kadang tarifnya bisa Rp250 Ribu terus ada tambah Rp10 Ribu administrasi jadi Rp260 ribu,” ungkap Fahmi.
Oleh karena itu, Yani mengatakan pihaknya masih menunggu tersedianya rapid test kit buatan lokal dengan harga lebih ekonomis, yang dipatok berada di kisaran Rp75 Ribu.
“Kami menunggu alat rapid test dengan patokan harga pertes Rp75 Ribu. Ini sudah teregestrasi di Kementerian Kesehatan. Jadi, namanya ada disini RI-GHA Covid-19. Kita sudah konfirmasi kapan produk ini akan tersedia. Oleh distributornya diakhir Juli,” terang Yani.
Yani pun berharap, nantinya rapid test kit tersebut dapat memenuhi kebutuhan dari seluruh Fasyankes di Indonesia.
“Kalau betul-betul dapat Rp75 Ribu, rapid test itu mungkin tidak sampai Rp150 Ribu, bisa aja Rp125 Ribu atau kurang dari itu, tergantung harga rapid (alat),” ucap Yani. MC Kalsel/scw