Kick Off Meeting

Salah satu narasumber Kick Off Meeting PPSP Provinsi Kalsel dari Urban Sanitation Development Program (USDP), Hony Irawan memaparkan cara membuat masyarakat bisa berprilaku hidup sehat dan akibat yang terjadi bila masyarakat masih melakukan prilaku BABS. MC Kalsel/rmd

Banjarbaru,-
Bagi masyarakat perkotaan yang punya fasilitas sanitasi memadai disetiap rumah, pasti menganggap mayoritas masyarakat Indonesia sudah bebas dari Buang Air Besar Sembarangan (BABS), namun kenyataan itu berbanding terbalik. Ternyata di Indonesia menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan masih ada 25 juta orang di Indonesia yang buang air besar sembarangan (BABS).

Lalu akan timbul pertanyaan, kenapa angka itu terasa masih besar padahal pemerintah sudah banyak melakukan program untuk mengentaskannya? Pertanyaan itu dijawab oleh Hony Irawan seorang Communication & Advocacy Specialist dari Urban Sanitation Development Program (USDP) yang menjadi salah satu narasumber dalam Kick Off Meeting PPSP Provinsi Kalimantan selatan, Jum’at (26/04/2019). “BABS sudah merupakan kebiasaan yang tertanam sejak kecil, sehingga sulit dihilangkan saat dewasa.

Selain itu ketidakmampuan untuk memiliki toilet dan tak punya rumah menyebabkan praktik BABS dianggap normal dan tak tak berbahaya,” katanya. Dijelaskannya lagi, masyarakat Kalsel sendiri, masih banyak yang beranggapan perilaku BABS tidak berimbas pada kesehatannya, ”Bahkan ada beberapa masyarakat yang bilang, mereka tidak pernah sakit walaupun mengkonsumsi air sungai,” tambahnya. Padahal tambah Hony, kebiasaaan masyarakat seperti itu harus segera dihentikan, karena mengkonsumsi air sungai secara langsung adalah tindakan yang membahayakan walaupun akibat yang ditimbulkan tidak konstan terjadi. “Masalah paling menonjol karena masalah perilaku buang air besar sembarangan ini adalah serangan diare,” jelasnya.

Parahnya, diare adalah penyebab sembilan persen kematian balita setiap tahunnya. Catatan UNICEF menunjukkan balita di dunia mengalami 1,7 miliar kasus diare setiap tahun. Sekitar 300.000 balita meninggal setiap tahun – atau lebih dari 800 per hari dari penyakit diare yang diakibatkan air, sanitasi dan kebersihan yang buruk.

Selain diare, masalah lain yang disebabkan oleh perilaku BABS ini adalah malnutrisi. Sebuah laporan Improving Nutrition Outcomes with Better Water, Sanitation and Hygiene, dari UNICEF, USAID dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk pertama kalinya menyatukan hasil riset dan studi kasus selama bertahun-tahun yang menunjukkan mata rantai yang menghubungkan sanitasi dan malnutrisi. Menurut laporan tersebut, kurangnya sanitasi dan perilaku BABS, berkontribusi kepada diare dan penyebaran parasit perut, yang pada akhirnya mengakibatkan malnutrisi.

Keterkaitan antara perilaku BABS dengan malnutrisi memang tidak secara langsung dan nyata terlihat. Namun BABS ini akan mencemari air sungai dan air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari. Air kotor yang tercemar tinja ini digunakan untuk mengairi sawah dan perkebunan. Akibatnya sumber makanan jadi tercemar dan bahaya saat dikonsumsi. “dibeberapa daerah di Indonesia malah ada yang membuang sedotan dari tinja keperkebunan, dengan alasan bisa menyuburkan, padahal ini sangat berbahaya,” katanya.

Karena makanan yang tak sehat untuk dikonsumsi ini  akan menyebabkan anak-anak jadi kekurangan gizi yang dibutuhkan tubuh. Sekitar sembilan juta anak Indonesia memiliki tubuh yang pendek. Selain itu, kekurangan gizi juga akan menyebabkan pertumbuhan anak jadi tak normal. Pada akhirnya, terganggunya pertumbuhan fisik ini akan berpengaruh terhadap kemampuan belajar anak-anak.Didalam acara Kick Off Meeting tersebut bukan hanya bahaya yang dibahas namun juga solusi yang harus dilakukan agar sanitasi di Kalsel bisa lebih baik.

Hony mengatakan, untuk memperbaiki masalah ini bukan hanya urusan membangun infrastuktur sanitasi yang baik didesa atau daerah terpencil, walaupun hal itu juga merupakan unsur yang utama. “Namun yang pertama kali harus dilakukan adalah mengedukasi masyarakat agar bisa berubah kebiasaan dan bisa menerapkan perilaku hidup sehat,” katanya.

Salah satu yang dilakukan USDP bekerjasama dengan pemerintah daerah adalah dengan edukasi, sosialisasi, dan yang paling penting adalah pemicuan masyarakat. “Kita bisa melakukan edukasi sejak dini, dan pemicuan masyarakat, yang dipicu dari masyarakat adalah rasa malu, rasa jijik, rasa takut pada penyakit, dan rasa bersalah kalo tidak berprilaku hidup sehat,” katanya.

Selain itu peran media juga sangat penting untuk merubah perilaku masyarakat ini,” karena media massa bisa menjangkau masyarakat langsung dan kebanyak orang, pemerintah daerah bisa membuat iklan masyarakat untuk menyadarkan masyarakatnya agar bisa berprilaku hidup sehat,” pungkasnya. MC Kalsel/rmd

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan