Pada tahun 2020 lalu, Bank Indonesia telah menambah likuiditas di perbankan sekitar Rp726,57 triliun, bersumber dari penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sekitar Rp155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp555,77 triliun.
Menurut Gubernur Bank Indonesia, Perry Wirliyo, hal itu sejalan dengan kebijakan moneter dan makroprudensial akomodatif yang ditempuh BI, sehingga kondisi likuiditas tetap longgar dan mendorong suku bunga terus menurun serta mendukung pembiayaan perekonomian.
“Bank Indonesia melanjutkan penambahan likuiditas pada tahun 2021 dengan melakukan ekspansi operasi moneter sekitar Rp7,44 triliun (per 19 Januari 2021),” kata Perry Warliyo pada live streaming konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan Januari, Kamis (21/1/2021).
Perry menjelaskan, longgarnya kondisi likuiditas mendorong tingginya rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yakni 31,67 persen pada Desember 2020 dan rendahnya rata-rata suku bunga PUAB overnight, sekitar 3,04 persen pada Desember 2020.
Kemudian, longgarnya likuiditas serta penurunan BI7DRR berkontribusi menurunkan suku bunga deposito dan kredit modal kerja dari 4,74 persen dan 9,32 persen pada November 2020 menjadi 4,53 persen dan 9,21 persen pada Desember 2020.
“Penurunan suku bunga kredit diprakirakan akan berlanjut dengan longgarnya likuiditas dan rendahnya suku bunga kebijakan Bank Indonesia,” ucap Perry.
Sementara itu, imbal hasil SBN 10 tahun meningkat dari 5,86 persen pada akhir Desember 2020 menjadi 6,27 persen pada 20 Januari 2021.
Dari besaran moneter, pertumbuhan besaran moneter M1 dan M2 pada Desember 2020 tetap tinggi, yaitu sebesar 18,5 persen (YoY) dan 12,4 persen (YoY).
Perry pun berharap ekspansi moneter Bank Indonesia dan percepatan realisasi anggaran serta program restrukturisasi kredit perbankan dapat mendorong penyaluran kredit dan pembiayaan bagi Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). MC Kalsel/scw