Sepekan menjelang Hari raya Idul fitri, jalanan kota Banjarmasin menjamur jasa tukar uang. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Selatan pun menilai jasa tukar uang dengan mengurangi jumlah uang, maka jelas bersifat riba dan hukumnya haram.
Asfiani Nurhasani selaku anggota MUI Kalsel saat ditemui dikantornya, Selasa (28/5/2019) mengatakan uang adalah hakikatnya emas yang dicadangkan devisa negara, sehingga uang itu hukum emas maka tukar menukar uang masuk dalam riba yang diharamkan Nabi.
“Penukaran uang Rp1.000.000,00 dengan pecahan Rp20.000,00 jumlahnya harus sama sementara masyarakat menukarkan menjadi Rp1.200.000,00 tambahan ini menjadi riba yang diharamkan” ucap Asfiani.
Dari sudut pandang lain juga perlu diketahui para penukar jasa tersebut mencari nafkah maka hukum islam dari sisi tukar menukar bisa menjadi halal dengan sudut pandang bukan tukar uang tetapi jasa membantu menukarkan uang.
“Misalnya kita memerlukan uang Rp1.000.000,00 tetapi kita tidak mempunyai waktu maka para penukar jasa tersebut yang sudah lelah antri di bank dan menawarkan dipinggir jalan tersebut menjadi uang tambahan itu disebut uang jasa”
Asfiani juga menambahkan agar para penukar jasa tersebut harus merincikan kepada masyarakat berapa jasa untuk mereka yang diberikan sehingga selisih uang itulah uang jasa yang diperbolehkan.
Untuk transaksinya pun harus mempunyai akad atau perjanjian sederhana.
“Si penukar jasa harus mengucapkan uang sebesar Rp1.000.000,00 dan uang lelahnya sebesar Rp100.000,00 dan pihak yang memerlukan mengatakan iya saya terima, maka terjadi akad yang sah” pungkasnya. Mc Kalsel/Rns