Menteri Agama Buka IJTIMA Ulama Komisi Fatwa MUI Ke 6 Se-Indonesia

Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin mewakili Presiden RI Joko Widodo menyampaikan sambutan sekaligus membuka secara resmi IJTIMA Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-6 Se Indonesia di Kalsel dengan tema Meningkatkan Peran Ulama Dalam Melindungi dan Memajukan Umat, Bangsa dan Negara di Pondok Pesantren Al-Falah Banjarbaru, Senin (7/5). MC Kalsel/scw

Pemerintah Provinsi Kalsel menggelar acara Pembukaan IJTIMA Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-6 Se Indonesia di Kalsel dengan tema Meningkatkan Peran Ulama Dalam Melindungi dan Memajukan Umat, Bangsa dan Negara di Pondok Pesantren Al-Falah Banjarbaru, Senin (7/5).

Gelaran berhimpunnya ulama se-Indonesia ini dihadiri hampir seribuan peserta yang datang dari seluruh daerah di Indonesia yang terdiri dari Pimpinan MUI Pusat, Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia, Komisi Fatwa MUI se-Indonesia, Perguruan Tinggi Islam se-Indonesia, Ormas Islam tingkat pusat, Pimpinan Pondok Pesantren, Pemuka Islam, Cendekiawan, Instansi terkait serta utusan dari negara-negara sahabat.

Serta juga tampak hadir, Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin, Gubernur Kalsel Sahbirin Noor, Kapolda Kalsel, Dirjen Bimas Islam Muhammadiyah Amin, Dirut BPJS, Kepala Kanwil Kemenag Kalsel, dan Kakankemenag Banjarbaru.

Presiden RI Joko Widodo dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, ulama adalah mereka yang memiliki dua keunggulan komparatif. Pertama, mereka yang memiliki kedalaman ilmu pengetahuan. Tentu, pengetahuan yang dimaksud bukan hanya terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan, melainkan juga ilmu-ilmu non-keagamaan.

“Mereka yang tak hanya menguasai ilmu-ilmu fardhu ‘ain, melainkan juga mereka yang memiliki penguasaan yang mendalam terhadap ilmu-ilmu fardhu kifayah, seperti fikih, ushul fikih, qawa’id al-tafsir, dan lain-lain,” Katanya.

Oleh karena itu, ulama adalah mereka yang memiliki tingkat khashyatullah (ketakutan kepada Allah) di atas rata-rata. Ketakutannya kepada Allah tercermin pada keluhuran budi pekertinya. Mereka memilih hidup zuhud, qana’ah, wara’, dan tawakkal.

Ketergantungan dan kecintaannya pada soal-soal duniawiyah menjadi sangat minimal. Ketinggian akhlak dan pekerti para ulama ini mendorong mereka untuk bersikap hati-hati dalam mengambil sikap dan mengemukakan pendapat atau fatwa keagamaan.

“Dengan modal ilmu yang dalam dan khashyatullah yang tinggi itu, maka fatwa-fatwa keagamaan yang dikeluarkan para ulama akan memberikan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia, bukan hanya di dunia melainkan juga di akhirat,” ungkapnya.

Selanjutnya, bagi ulama, memberikan fatwa keagamaan tentu bukan persoalan mudah bahkan cukup sulit. Karena, pertanggung-jawabannya bukan hanya secara akademis-intelektual ketika di dunia, melainkan terutama fatwa itu juga harus dipertanggung-jawabkan di mahkamah ilahiyah di akhirat nanti.

“Karena itu, sejumlah ulama membuat persyaratan yang cukup ketat bagi seorang pemberi fatwa keagamaan yang lazim disebut sebagai mufti. Imam Ibnu al-Shalah membuat kitab yang khusus membahas etika dalam berfatwa. Ia memberi judul kitabnya, Adab al-Mufti wa al-Mustafti,” jelasnya.

Lukaman, juga menjelaskan mayoritas ulama ushul fikih berpendirian bahwa kesahihan fatwa keagamaan seorang ulama bukan hanya diukur dari sudut koherensi dalil-dalil yang disuguhkannya.  Melainkan, ungkap Menag, dari dampak kemaslahatan yang ditimbulkan dari fatwa keagamaan tersebut.

Menurutnya, karena cukup sulit menemukan individu ulama yang memenuhi seluruh persyaratan mufti, maka dalam perkembangannya, para ulama menyepakati agar proses memproduksi fatwa tak dilakukan secara sendirian (fardi), melainkan secara kolektif (jama’i).

Lebih jauh dirinya menjelaskan berfatwa secara jama’i ini memiliki dua kegunaan. Pertama, saling melengkapi satu sama lain secara intelektual. Sebab, mungkin saja ada ulama yang memiliki pengetahuan luas di bidang hadits, tapi memiliki pengetahuan terbatas di bidang fikih dan ushul fikih. Begitu juga sebaliknya. Ini karena kian langkanya ulama yang selevel Imam Nawawi apalagi Imam Syafii.

“Oleh sebab itu, untuk meminimalkan terjadinya dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari fatwa keagamaan. Ini karena seorang mufti bukan hanya penting punya kecakapan pada aspek takhrij al-manath (penggalian/penetapan hukum melalui pendekatan teks-teks syar’i). Ia juga harus mengerti wilayah tahqiq al-manath (penerapan hukum melalui pendekatan substantif/maqasid syariah),” jelasnya (scw).

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan