Matahari sedang terik saat saya menyusuri jalan Pangeran Banjarmasin, Minggu (4/3) disana terdapat pemandangan yang sudah jarang terlihat, puluhan penampungan air yang terbuat dari campuran pasir dan semen atau yang biasa disebut tajau tergeletak tak beraturan.
Disamping rumah itu, terlihat seorang pemuda sedang sibuk mencampur pasir dan semen sebagai bahan pembuat tajau,”mau beli kah mas,” tawar pemuda itu.
Pemuda itu bernama Jaimani (29), sambil masih melakukan pekerjaannya mencampur semen dan pasir dia menceritakan, Ia menjadi pembuat dan penjual tajau sejak 10 tahun yang lalu,”awalnya ini usaha kuitan ulun (orang tua saya), setelah bapak saya meninggal jadi saya yang meneruskan,” ungkap Jaimani.
Ia menambahkan, memang sekarang pengguna tajau sudah mulai berkurang, khususnya di kawasan kota Banjarmasin, tapi di kawasan desa masih banyak peminatnya karena belum dimasuki jalur air bersih,” paling banyak yang menukari (beli), itu masyarakat desa,” ungkapnya.
Selain di depan rumah yang sekaligus menjadi workshop pembuatan tajaunya, Jaimani juga menjemput rezeki dengan membawa sendiri tajau–tajau buatannya ke daerah pesisir sungai seperti Tamban, Anjir dan Aluh-aluh dengan menggunakan perahu kelotok untuk berjualan disana.
“Kalo kesana biasanya tidak langsung di bayar cash, tapi sistem kredit, nanti kalo sudah bulan selesai panen baru dibayar,” ungkapnya.
Jaimani tak menampik bahwa masyarakat sekarang lebih menyukai peralatan yang serba praktis. Termasuk tempat penampungan air yang terbuat dari bahan plastik. Selain ringan dan harganya terjangkau, bahan plastik juga tak mudah rusak.
Musim hujan juga jadi kendala usahanya. Tajau yang dibuat akan menjadi lambat kering. Padahal pengeringannya sangat bergantung pada terik matahari. “Kalau sudah seperti itu, paling hanya bisa membuat lima tajau saja perhari,” ujarnya.
Selain digunakan sebagai tempat menampung air, tajau juga mempunyai kelebihan lain. Mampu menjernihkan air serta mengubah rasa air yang sebelumnya terasa payau. “Tajau cocok bagi masyarakat yang masih bergantung dengan air sungai, air yang disimpan ditajau bisa lebih hambar dan dingin,” ungkapnya.
Untuk harga sendiri, ia mematok harga 60-70 ribu rupiah, ”tapi kalo harga saya bawa pakai klotok, itu jadi 100-110 ribu rupiah,” ungkapnya.
Jaimani juga bercerita, dua tahun yang lalu di Banjarmasin masih banyak yang membeli tajau, tapi beberapa tahun kemudian sudah mulai banyak ditinggalkan khususnya di masyarakat perkotaan, ”gara-gara ekonomi sedang turun, dan di kota orang banyak pakai air ledeng, jadi banyak pengrajin tajau yang gulung tikar, ulun (saya) jadi satu-satunya yang bertahan membuat tajau di sini (Banjarmasin),” ungkapnya.
Untuk menghemat biaya produksi dan mempercepat prosesnya, Tajau buatan Jaimani hanya dibuat polos, ”sekarang tajau tidak ada coraknya lagi, polos aja,” ungkapnya.
Masih bertahannya masyarakat yang membuat tajau di kawasan Kelurahan Kuin Utara diapresiasi oleh Pemerintah Kota Banjarmasin. Hal itu dibuktikan dengan dimasukkannya kawasan tersebut menjadi salah satu Kampung Wisata.
“Itu dilakukan sebagai salah satu bentuk dukungan kepada masyarakat yang terus membuat kerajinan tajau di tempat tersebut,” ujar Kepala Bidang Pariwisata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banjarmasin, Khuzaimi.
Pengrajin tajau masih mempertahankan model lama. Hanya dibuat polos tanpa adanya sentuhan lain yang mampu membuat tajau lebih menarik hingga bernilai tinggi. “Kalau dimodifikasi atau dibikin dengan ukuran kecil, kemudian diberi ukiran seperti lukisan mungkin bisa lebih menarik, supaya bisa menjadi oleh-oleh bagi para wisatawan” sebut Izzah, pengunjung di tempat tersebut. (Rmd)