Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Meratus, Walhi Kalsel, dan Komunitas Jurnalis Pena Hijau Indonesia, Selasa (16/1) menggelar aksi unjuk rasa dan orasi di depan gedung DPRD Kalimantan Selatan.
Dalam orasinya koordinator lapangan dari Aliansi Mahasiswa Peduli Meratus, Khairul Jimmy mengungkapkan pihaknya selaku mahasiswa di Kalimantan Selatan menolak keras adanya perusahaan tambang milik PT. Mantimin Coal Mining di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).
“Tidak ada tambang saja HST masih sering terjadi banjir setiap tahunnya apalagi kalo ada aktivitas tambang, untuk itu kami menolak keras adanya tambang di Hulu Sungai Tengah” ucapnya. Pihaknya selaku perwakilan masyarakat juga mendesak pemerintah pusat untuk segera mencabut SK yang menimbulkan polemik dan gelombang protes di berbagai daerah.
Aksi unjuk rasa diikuti oleh sejumlah organisasi mahasiswa dan LSM peduli lingkungan yang melakukan long march dengan pengawalan ketat dari anggota kepolisian. Para peserta aksi diterima oleh ketua komisi 3 DPRD Kalimantan Selatan, Supian HK yang mengaku pihaknya akan mengirim surat kepada kementerian terkait penolakan yang disampaikan oleh pihak mahasiswa dan hampir seluruh masyarakat di Kalimantan Selatan, “ Kalo dalam 3 hari saya tidak mengirimkan surat tuntutan kawan – kawan tadi, saya bersedia mundur dari keanggotaan DPRD Kalsel”, Ucapnya.
Kendati sudah mengantongi izin produksi batubara dari kementerian ESDM namun PT. Mantimin Coal Mining diperkirakan akan sulit untuk melakukan eksploitasi di daerah Hulu Sungai Tengah dan sekitarnya menyusul besarnya penolakan dari warga setempat yang menginginkan daerahnya bebas dari aksi penambangan.
Ditempat terpisah Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kalsel, Isharwanto mengungkapkan untuk dapat berproduksi di lahan seluas 5 ribu hektar tersebut perusahaan harus melakukan pembebasan lahan milik warga.” hal tersebut akan sangat sulit dilakukan karena hampir seluruh kalangan menolak keberadaan perusahaan pertambangan batubara itu” ujarnya.
Terkait terbitnya amdal yang menjadi acuan bagi pemerintah pusat untuk menerbitkan izin, Isharwanto menilai hal itu di luar kewenangannya. “Sejak 2016, seluruh urusan terkait pertambangan sudah menjadi kewenangan pemerintah pusat, termasuk pengurusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara – PKP2B”, tambah Isharwanto.
Sejak beberapa waktu terakhir kisruh tentang penolakan keberadaan perusahaan tambang batubara di Hulu Sungai Tengah menjadi sorotan bahkan menuai kecaman dari berbagai kalangan mengingat daerah tersebut merupakam resapan air yang harus dilindungi, yang akan berimbas pada bencana alam yang cukup besar apabila dihilangkan salah satunya melalui pengerukan pada kegiatan pertambangan. MC Kalsel/rmd