Pemicu terjadinya stunting di Kalimantan Selatan (Kalsel) diakibatkan tingginya kasus pernikahan usia dini dibawah umur 19 tahun, karena banyak pasangan muda masih berlum mengetahui tentang reproduksi.
Hal ini disampaikan Kepala Dinas PPA Kalsel, Adi Santoso melalui Kepala Bidang Kualitas Hidup Perempuan dan Keluarga, Suharto pada kegiatan Coffee Talk Pencegahan Stunting di Kalsel di Kota Banjarbaru, Senin (27/2/2023).
Suharto mengatakan upaya yang telah dilakukan jajaran DP3A yaitu dengan cara menyebarluaskan imbauan melalui semua stakholder mulai dari pemerintah, tokoh masyarakat, sekolah dan lainnya tentang usia menikah minimal 19 tahun.
Oleh karena itu, melalui tokoh masyarakat termasuk para ulama, dinilai memiliki banyak pengikut dengan harapan dapat mengkampanyekan dan memviralkan, agar lebih cepat diterima di masyarakat.
Bahkan, saking krusialnya isu perkawinan anak tersebut sampai masuk dalam rencana strategis (renstra) DP3A Kalsel pada 2021-2026.
“Masalah perkawinan anak ini Kalsel nomor satu di 2017. Turun nomor 4 di 2018, dan nomor satu lagi di 2019 secara nasional. Tapi mudahan di 2022 kita bisa turun lagi,” ujarnya.
Menurutnya berdasarkan data DP3A, perkawinan anak di Kalsel pada 2017 mencapai 23,12 persen. Angka itu lebih tinggi dari nasional yang hanya 11,54 persen. Sedangkan pada 2018, angkanya turun menjadi 17,63 persen. Kemudian kembali melonjak menjadi 21,18 persen di 2019. Lalu kembali turun menjadi 16,24 persen pada tahun berikutnya. Turun lagi jadi 15,30 persen di 2021.
Sementara tiga daerah teratas yang mencatat angka perkawinan anak pada 2021 terjadi di Kotabaru, Tapin, dan Tanah Laut. Sedangkan tiga daerah terendah yakni Banjarmasin, Banjarbaru, dan Tabalong.
Dikesempatan yang sama, Kepala Dinas Kesehatan Kalsel, Diauddin menambahkan stunting bukan cuma masalah tinggi badan, tapi menyangkut kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
“Semakin tinggi angka stunting, semakin sulit bersaing kualitas SDM ke depannya. Tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia,” kata Diauddin.
Oleh karena itu, Ia bersyukur kasus stunting di Kalsel terus mengalami penurunan. Apalagi target nasional 14 persen di tahun 2024 mendatang.
Ditambahkan, saat ini kasus stunting Kalsel masih posisi 20 se Indonesia. Adapun daerah dengan kasus tertinggi yakni di Batola, Kotabaru dan HST. Sedangkan kasus terendah ada di Tapin, Tanah Bumbu dan Tabalong. Bahkan di Kabupaten Tapin saat ini 14,5 persen, atau sudah mendekati target nasional.
Selain sinergi, diharapkan adanya peran masyarakat dan swasta untuk membantu melalui program CSR perusahaan.
“Program kerja sama dengan swasta sangat bagus dalam penekanan stunting di Kalsel,” ujarnya.
Selain program CSR, Kalsel juga telah meluncurkan program bapa asuh anak stunting yang digagas oleh BKKBN. Dengan program bapak asuh stunting ini, kepala daerah wajib menjadi bapak asuh anak stunting.
“Jadi program ini langsung turun melalui pejabat yang telah ditunjuk menjadi perpanjangan tangan bapak asuh anak stunting ke desa. Dimana program itu memberikan bantuan makanan bergizi bagi anak stunting di Kalsel,” pungkasnya. MC Kalsel/tgh